FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) yang merupakan wakil kaum feminis menulis komentar bahwa : “Mayoritas ulama fiqih dan tafsir berpendapat bahwa qiwamah (kepemimpinan) hanyalah terbatas pada laki-laki dan bukan pada perempuan, karena laki-laki memiliki keunggulan dalam mengatur, berfikir, kekuatan fisik dan mental. Kata-kata FK3 itu dikritik FKIT (Forum Kajian Islam Tradisional Pasuruan), dengan disebutkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan diantara ulama fiqih dan tafsir tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga termasuk dalam kepemimpinan negara (imamah). Masalah kepemimpinan laki-laki ini dibahas dengan panjang lebar dan tampak bahwa argumentasi FK3 atau aktivis kesetaraan gender, memang tidak kuat dan hanya dicocok-cocokkan dengan kemauan dan tujuan ideologi kesetaraan gender, yang belum tentu cocok dengan Islam.
Soal kepemimpinan laki-laki ini dihujat oleh FK3, dengan menyatakan, bahwa “di masa sekarang dalam bidang ekonomi atau sosial, banyak perempuan yang lebih unggul daripada laki-laki.” Argumentasi FK3 ini sangatlah lemah, sebab sejak dulu, ada saja wanita yang lebih unggul dari laki-laki. Khadijah r.a. adalah seorang wanita bangsawan dan kaya raya dan banyak mempekerjakan laki-laki, termasuk Rasulullah saw, di masa mudanya. Siti Aisyah r.a., juga seorang wanita yang unggul dalam kepemimpinan dan intelektual, melebihi banyak kaum laki-laki di zaman itu. Belum lama ini terbit sebuah kitab fiqih hasil ijtihad ulama perempuan terkemuka, yaitu Aisyah r.a. berjudul “Mausu’ah Fiqh ‘Aisyah Ummu al-Mu’minin Hayatuha wa Fiqhuha”, setebal 733 halaman. Hasil ijtihad beliau sebagai seorang perempuan, tidak berbeda dengan hasil ijtihad para mujtahid laki-laki.
Namum, seringkali tuduhan kepada para mujtahid dan fuqaha ditimpakan, bahwa fiqih didominasi oleh laki-laki, dan ajaran agama ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki.” Demikianlah kajian FKIT Pasuruan yang perlu ditelaah dna didiskusikan lebih jauh, khususnya bagi kalangan NU, dan kaum Muslim pada umumnya. Sebab, saat ini begitu gencar serangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang dinilai para aktivis gender ala sekular-Barat tidak cocok dengan zaman. Tuduhan-tuduhan bahwa ajaran Islam banyak didominasi oleh kaum laki-laki, seperti datang bertubi-tubi, sehingga bantak yang kemudian meragukan ketulusan dan kecanggihan ijtihad para ulama terdahulu. Padahal, sepanjang sejarah Islam, begitu juga banyak diantara ulama-ulama Islam adalah wanita. Tetapi, mereka tidak pernah menggugat masalah kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, atau berbagai masalah yang dipersoalkan oleh aktivis kesetaraan gender, seperti sekarang ini. Kepemimpinan bukan hanya soal “hak”, tetapi juga tanggung jawab. Artinya, bagi laki-laki, tanggung jawab itu belaku di dunia dan akhirat. Dalam soal kepemimpinan negara pun, banyak rakyat yang lebih pintar dan mahir dalam kepemimpinan dari kepala negaranya. Oleh karena itu, seyogyanya, wanita memilih calon suaminya yang “sekufu” atau laki-laki yang memang mampu menjadi pemimpin.
Bisa saja istri lebih pintar dari suaminya, tetapi hak kepemimpinan memang ada pada suaminya, termasuk hak talak. Pemimpin yang baik, pasti akan memanfaatkan kepintaran istrinya. Ini bukan masalah baru, sudah banyak rumah tangga yang sukses, meskipun istri lebih pandai dari suaminya, dan tetap ia menghormati kepemimpinan suaminya. Ini bukan soal tinggi atau rendah martabat sebagai manusia, tetapi adalah soal tanggung jawab dan pembagian tugas. Masalah kesetaraan gender memang saat ini begitu menggejala dan menjadi proyek yang banyak menyediakan dana. Beberapa waktu lalu, Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama telah memproduksi legal draft Kompilasi Hukum Islam yang sangat kontroversial dan ‘ajaib’, yang tidak berpijak pada metodologi Islam, tetapi pada prinsip-prinsip kesetaraan gender, pluralisme, nasionalisme, dan sebagainya.
Tanggal 25 Oktober 2004 lalu, Harian Kompas menurunkan tulisan seorang wanita aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, berjudul “Khatib Perempuan”. Tulisan itu menggugat, mengapa tidak ada khatib jumat atau salat tarawih yang perempuan. “Tak adakah kesempatan bagi dai perempuan untuk berkhotbah?" Dari sekian ribu masjid di Tanah Air, tulisnya, tak satu pun perempuan menjadi khatib. Satu-satunya perempuan yang ia dengar berani berkhotbah Jumat di hadapan pria adalah Prof Amina Wadud, sarjana Muslim terkemuka. Ia naik mimbar
Wanita ini sedang menampilkan dirinya sebagai ‘mujtahid’ yang merasa lebih hebat dari ribuan ulama, termasuk ulama-ulama wanita, seperti Sayyidah Aisyah r.a. Sepanjang 1500 tahun, dan di belahan dunia mana pun, ulama Islam tidak pernah berpikir semacam ini. Jika fiqih dipengaruhi oleh waktu dan tempat atau budaya, di mana-mana kaum Muslim selama ribuan tahun punya pendapat yang sama tentang banyak masalah fiqih. Tentu ada perbedaan, tetapi bukan karena perbedaan budaya. Lalu, apakah yang dimaksud dengan musawat? Apakah itu berarti persamaan dalam segala hal antara laki-laki dan wanita? Jika si wanita ini merasa mampu dan berhak menjadi khatib Jumat, apakah dia mau hukum salat Jumat juga wajib baginya? Apakah si wanita ini lalu merasa menjadi terhormat jika dapat berkhotbah Jumat? Tanpa dia sadari, atau mungkin dia sadari, si wanita yang mengaku dari aktivis organisasi intelektual Islam ini, sebenarnya sedang membongkar agamanya sendiri. Dengan dalil “musawat” dia bisa membongkar apa aja yang dikehendaki, yang penting sama dengan laki-laki. Dia bisa menuntut hak talak, karena perempuan juga bisa mentalak suaminya. Wanita juga bisa menuntut untuk masuk masjid, meskipu sedang haid, karena sekarang sudah ada pembalut wanita yang mampu menahan ceceran darah. Di masa turunnya ayat, pembalut wanita belum ada. Wanita juga bisa mencari nafkah dan menjadi kepala keluarga. Wanita juga tidak harus melahirkan dan menyusui anaknya, karena dia bisa menyewa orang lain untuk melahirkan dan menyusui anaknya. Kelebihan seperti dalam
Secara umum, hingga kini, dalam soal fisik saja, laki-laki memang lebih unggul dari perempuan. Meskipun secara perseorangan, banyak wanita lebih unggul dan lebih kuat secara fisik. Bisa dipastikan, juara tinju dunia kelas berat wanita, Lamya Ali, misalnya, lebih kuat pukulannya dan akan menang bertinju melawan Komar, pelawak yang kini menjadi anggota DPR. Banyak wanita jago angkat besi atau bela diri yang mungkin saja lebih kuat fisiknya ketimbang suaminya. Tetapi, secara umum, tetap saja laki-laki lebih kuat.
Pada 21 November 2004, seorang yang mengaku aktivis liberal, menulis di Harian Jawa Pos, bahwa ada seorang wanita, bernama Maryam Mirza, yang melakukan khotbah shalat Id, di Amerika Serikat. Penulis ini sangat bangga bahwa ada wanita bias khotbah Id, sehingga ia puji habis-habisan, dengan kata-katanya berikut: “Penampilan Maryam Mirza memang bahkan bisa dikatakan "revolusioner" – bukan hanya buat Muslim Amerika, tapi untuk seluruh dunia Islam. Kesetaraan gender dalam Islam memang terlalu banyak dikatakan dan terlalu sedikit dilaksanakan... Mudah-mudahan pada Idul Fitri tahun depan, kita di Indonesia - kalaupun mustahil diharap di Arab Saudi -- pun bisa menikmati tampilnya khatib perempuan dalam salat Id. Jika Maryam Mirza bisa, seperti kata jamaah salat Id di Washington itu, tentu para perempuan Muslim lain di mana pun bisa.”
Memang, banyak wanita yang mampu menjadi khatib. Tetapi, ironis sekali cara berpikir seperti ini, bahwa wanita menjadi khatib Id dibanggakan, hanya karena “WTS” (Waton Suloyo/asal beda dengan yang lain). Jangankan menjadi khatib, sekarang pun banyak wanita Muslimah yang bisa membuat pesawat terbang dan menjadi cendekiawan-cendekiawan unggul, tanpa perlu menjadi khatib Id. Apa yang perlu dibanggakan dengan hal semacam ini? Sepanjang sejarah Islam, banyak wanita menjadi pejuang unggul, tanpa perlu menuntut menjadi khatib. Cut Nya’ Din, tetap dihormati dan dipuji sebagai pahlawan. Cut Mutiah, namanya tetap harum. Mereka tidak berbuat hal yang aneh-aneh untuk menjadi terkenal. Kalau si penulis artikel itu ingin ada wanita jadi khatib shalat Id di Indonesia, biarlah istrinya sendiri, yang jadi imam salat baginya, dan jadi khatib untuk keluarganya sendiri. Biarlah dia memberi contoh, untuk dirinya sendiri, dan mempertanggung jawabkannya kepada Allah SWT di Hari Akhirat nanti. Ibnu al-Mundzir, dalam Kitab al-Ijma’, (hal. 44) menjelaskan, bahwa soal imam dan khatib ini sudah merupakan ijma’ di kalangan sahabat. Para Ulama Islam pun tidak pernah berbeda dalam soal ini. Wallahu a’lam
sumber: www.hidayatullah.com (dan telah diedit seperlunya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar