Waktu Mengangkat Jari Telunjuk
Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.
Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shohih.
Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Maha mulia dan Mahal uhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.
Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.
Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah….”.
Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.
Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.
Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.
Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.
Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya
Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf (perbedaan) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.
Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.
Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberadaannya didalam sholat”.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.
Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.
Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulukan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.
Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk
Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i) Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).
Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’ ”.
Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.
Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.
Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”. Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!
Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.
Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.
Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.
Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”. Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimana pendapat sebagian orang. Wallahu a'lam
Sumber : Kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Syaikh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf
pantes aja ! tidak mau menggerak-gerakan jari telunjuk karena menukil dari seorang asy'ariyah(hasan ali assaqaf) yang dia banyak memusuhi salafiyyin !!!!! karena sifat ta'asub mazhabiyah,sebenarnya sudah banyak bantahan atas tadlis wa talbis assaqaf yang ditulis oleh para ulama sunnah.dan telah disebutkan bahwa hadist dari ibnu zubair dho'if,sedangkan pada zhahirnya hadist wail bin hujr yang terdapat tambahan lapadz tahrik bisa dijadikan hujjah !!! karena ada beberapa riwayat pendukung,kemudian tidaklah benar bahwa mayoritas madzhab maliki meniadakan tahrik !! justru pendapat tahrik yang dipilih oleh imam malik adalah pendapat yang mashur,ini juga pendapat sebagian ulama hanabilah.silahkan rujuk ashlu sifatussholatunnabiyy oleh : shaikh al-albany,dan juga baca kitab tamamul minnah
BalasHapusBegini ustadz, kalau masalah tentang jarh wa al-ta'dil kita serahkan pada para ahlinya. Imam bukhari & imam muslim pun tidak sepakat dalam menentukan syarat hadits sahih. Adapun masalah istinbath hukum hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yg memenuhi persyaratannya sebagai mujtahid. Kalau hanya membaca 2 hadits kemudian bisa mengkritisi para mujtahid maka alangkah sombongnya orang tersebut, dan tentu ilmu Ushul Fiqh yg telah digariskan oleh para ulama menjadi omong kosong saja. Tentu saja pendapat seperti itu adalah kekeliruan besar para salafiyin.
BalasHapusTentang syaikh al-albani sudah banyak diketahui bahwa beliau tidaklah pernah belajar hadits, beliau hanya menghabiskan hidupnya dengan membaca kitab-kitab hadits di perpustakaan damaskus. Sehingga kalau disebutkan salah satu hadits yg dia takhrij di dalam kitabnya sendiri maka diapun tidak hapal akan sanad dan rawi dari hadits tersebut kecuali setelah membuka lagi kitab2 hadits para ulama sunni. Tentu berbeda dengan Al-hafizh Ibnu Hajar Asqalani, yg memang dengan gelarnya Al-hafizh tentu kepakarannya sudah diakui oleh semua ulama. Sedangkan beliau Al-Hafizh pun masih menyatakan bagian dari pengikut mazhab Syafi'i, yg sudah tentu tahiyatnya pun tidak menggerakkan jari.
Pada akhirnya ini adalah masalah fiqh yg kita bisa bertoleransi satu sama lain, dan kami pun menghormati taqlid sebagian para ulama & ummat kepada mazhab maliki. Adapun kepada salafiyun wahabi mereka hanyalah memilah-milah pendapat para ulama sunni yg sesuai dengan perut mereka. Karena seperti kita ketahui, para salafiyun wahabi tidaklah mengikuti qunut subuh malikiyah & bilangan rakaat tarawih para malikiyah. Wallahu a'lam.