Sabtu, 12 Maret 2016

Orang Non Islam di Pemerintahan dalam Pandangan NU

Seperti hal umum dimanapun bahwa pemimpin disuatu daerah biasanya dari kalangan mayoritas di tempat tersebut. Di Negara-negara mayoritas Kristen yang katanya menjunjung demokrasi biasanya dipimpin oleh orang Kristen juga. Begitu pula di Negara-negara lainnya sehingga saudara-saudara non islam setanah-air rasanya tidak perlu merasa cemas dan sakit hati apabila para tokoh agama islam pasti menganjurkan umat islam untuk memilih pemimpinnya yang muslim juga, sebagaimana umat Kristen akan diarahkan oleh gereja untuk memilih Ahok yang Kristen dan sebagaimana pula para pemimpin Hindu di Bali mengarahkan umat Hindu untuk memilih pemimpin yang Hindu juga di Bali. 

Jadi dalam konteks bernegara adalah hal yang wajar membahas suatu persoalan dan wacana selama dalam aturan perundangan yang berlaku dan demi kepentingan seluruh masyarakat.

Lalu bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas islam terbesar di Indonesia memandang hal ini? Ternyata hal ini sudah pernah dibahas di dalam Bahtsul Masa’il Muktamar XXX NU di PP Lirboyo Kediri Jawa Timur tanggal 21 s/d 27 Nopember 1999, pada terbitan Khalista di halaman 579.



Pertanyaan:
Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam?

Jawaban:
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam kecuali dalam keadaan darurat, yaitu:
1. Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan.
2. Dalam bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
3. Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa maslahat.
Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.

Dasar pengambilan:

1. Al-Quran Al-Karim
ولن يجعل الله الكافرين على المؤمنين سبيلا

“Dan Allah Swt. Sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS. al-Nisa’: 141)

2. Tuhfat al-Muhtaj* dan Hawasyi al-Syarwani**
تحفة لابن حجر الهيتمى الجزء التاسع ص 72
وعبارته: ولايسـتـعان عليهم بكافرذمي او غيره إلا إن اضطررنا لذلك. ظاهر كلامهم ان ذلك لايجـوز ولو دعت الضرورة. لكنه فى التتمة صرخ بجواز الإستعانة به اى الكافر عند الضرورة.
(Dan tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir dalam memerangi bughat –pemberontak-), baik kafir dzimmi atau yang lainnya, kecuali kita diharuskan begitu.
(Pernyataan kitab matn –Minhaj al-Thalibin-, “Dan tidak diperbolehkan…”), maksudnya hal tersebut haram, demikian pendapat Ibn Qasim al-‘Abbadi. Sementara teks kitab Mughni al-Muhtaj dan Nihayat al-Muhtaj adalah, “Peringatan. Menurut zhahir pendapat para ulama, meminta bantuan orang kafir itu tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan darurat. Namun, Abu Sa’id al-Mutawalli dalam kitab al-Tatimmah terang-terangan menjelaskan kebolehan meminta bantuan orang non muslim dalam keadaan darurat.

3. Hawasyi al-Syirwani**
الشروانى الجزء التاسع ص 72-73
وعبارته:نعم ان اقتضت المصلحة توليته فى شئ لايقوم به غيره من المسلمين او ظهر فيمن بقوم به من المسلمين خيانة وامنت فى ذمى ولو لخوفه من الحاكم مثلا فلا يـبعد جواز توليته لضرورة القيام بمصلحة ما ولى فيه, ومع ذلك يجب على من ينصـبه مراقيـتة ومنعه من التعرض لأحد من المسلمين بما فيه استعلاء المسلمين

Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya padanya karena darurat. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapapun dari kalangan umat Islam.

4. Kanz al-Raghibin dan Hasyiyat al-Qalyubi***
المحلى لجزء الرابع ص 172
وعبارته : ولا يستـعان عليهم بكا فر لأنه يحرم تسـليطه على المسلمين (قوله ولا يستعان) فيحرم إلا لضرورة.
(Dan tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir dalam memerangi bughat –pemberontak-), karena haram menguasakan orang kafir terhadap umat Islam.
(Pernyataan Imam Nawawi: “Dan tidak diperbolehkan meminta.”) Maka meminta bantuan kepada orang kafir itu hukumnya haram, kecuali karena darurat).

5. Al-Ahkam al-Sulthaniyah****
الاحكام السلطانية لأبى يعلى الحنبلى ص: 35
وعبارته: والوزارة على ضربين وزارة تـفويض ووزارة تـنـفيذ. اما وزارةالتـفويض فهى ان يستوزر الإسلام من يفوض اليه تدبـير الأمور برأيه وإمـضاء ها على اجتـهاده...واما وزارة التـنـفيـذ فحكمها اضعـف وشروطها اقل لأن النـظر فيها مقـصور على رأي الإمام وتـدبـيره.
Kementrian itu ada dua macam, wuzarat tafwidh (kementrian pengkonsep) dan wuzarat tanfidz (kementrian pelaksana). Adapun wuzarat tafwidh adalah bila seorang kepala Negara mengangkat seorang menteri yang bertugas menggantikan dirinya dalam mengatur segala urusan sesuai dengan pertimbangannya sendiri dan melaksanakan semaksimalnya.
Sedangkan wuzarat tanfidz, maka kekuasaannya lebih lemah dan persyaratannya lebih sedikit karena pertimbangannya terbatas pada pendapat kepala Negara dan pengaturannya.

Catatan
*Ibn Hajar al-haitami wafat 974 H
**Abdul Hamid al-Syirwani wafat 1301 H
***Jalaluddin al-Mahalli wafat 864 H
****Al-Mawardi wafat 450 H

Wallahu a’lam.