Senin, 13 Agustus 2012

Harry Tanoesoedibjo Bersama George Soros Si Bos Yahudi

Transindo Akuisisi Bentoel
Skenario Kodok Melahap Gajah

Gebrakan PT Transindo Multi Prima (TMP) mengakuisisi Bentoel Putra Prima
bagaikan kodok yang melahap seekor gajah. Siapa di belakang sang kodok?

Di alam nyata, kodok memang tak mungkin melahap gajah. Tapi, di dunia
pasar modal analogi semacam itu bisa saja terjadi. Contoh paling baru,
adalah apa yang terjadi pada akuisisi Bentoel Prima oleh PT Transindo
Multi Prima.
Bayangkan, total aset TMP tak lebih dari Rp 7 miliar. Tapi, perusahaan
ini bisa mengakuisisi Bentoel Prima yang beraset lebih dari Rp 1
triliun. "Itulah cerita kodok memakan gajah," ujar seorang investor,
enteng.

Bagi investor di pasar modal, akuisisi seperti itu tidaklah terlalu
merisaukan. Malah, mereka akan bersenang hati bila mendapat gain dari
fluktuasi harga saham perseroan. Apalagi, diakui, tak banyak yang mampu
melakukan itu. Praktik begini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang
punya nyali besar dan kemampuan rekayasa finansial tinggi.

Gebrakan TMP tidak saja mengejutkan, tapi juga memunculkan tanda tanya.
Bagaimana perusahaan yang tak terlalu diperhitungkan ini bisa melahap
perusahaan yang jauh lebih besar. Dan, bukan hanya satu, tapi dua
sekaligus. Selain Bentoel, TMP juga mengakuisisi PT Lestariputra
Wirasejati (LW).
Padahal, berdasarkan catatan keuangan per Oktober 1999, total aset TMP
hanya Rp 6,84 miliar. Nilai aset ini jauh lebih kecil dari aset BP
mencapai Rp 1,02 triliun dan aset LW sekitar Rp 99,11 miliar.

Bagaimanapun, pemegang saham Transindo telah menyetujui akuisisi saham
Bentoel dan Lestariputra masing-masing 75 persen saham. Setelah
akuisisi, nama Transindo Multi Prima lalu berubah menjadi Bentoel
International Investama.
Sebelumnya, santer diperdebatkan bahwa spekulan kelas kakap George Soros
bakal menguasai Bentoel. Tak heran, ketika Transindo berhasil
mengakuisisi dua perusahaan itu, orang mengaitkannya dengan Soros. Meski
pada kenyataannya Bentoel diambil oleh Transindo, tapi orang tetap
melihat ada jejak-jejak Soros di sini.

Bagaimana alur penguasaan itu berjalan? Rencana pengalihan saham dua
perusahaan itu diawali dengan right issue senilai Rp 349,13 miliar
lembar. Sebesar Rp 315 miliar digunakan untuk mengakuisisi saham Bentoel
dan sisanya Rp 35 miliar untuk saham Lestari.

Dalam aksi itu, PT Bhakti Investama bertindak sebagai pembeli siaga.
Kita tahu, Bhakti inilah yang menjadi jembatan petualangan Soros. Sudah
bukan rahasia lagi kalau Soros telah mengantongi 14,5 persen saham
Bhakti, sebagaimana diakui sang dirut Bambang Harry Tanoesoedibjo.

Apakah Soros mengambil bagian selaku pembeli siaga? Harry tidak
membantah kemungkinan itu. "Yang jelas, di belakang kami ada banyak
investor asing, termasuk Soros. Tidak tertutup kemungkinan Soros
mengambil bagian dalam tanggung jawab kami sebagai pembeli siaga," ujar
Harry, diplomatis.
Bhakti yang menjadi mitra Soros di Indonesia tampaknya punya kepentingan
yang serius di balik cerita kodok memangsa gajah itu. Paling tidak,
rapat pemegang saham telah menempatkan Harry di posisi presiden
komisaris. Adik kandung Harry, Rudy Tanoesoedibjo menempati posisi wakil
presiden direktur.

Jauh-jauh hari, Harry telah menegaskan, Bhakti Investama memang sedang
diarahkan untuk menjadi perusahaan investasi. Sinyalemen yang lebih seru
mengatakan, Bentoel International Investama bakal jadi anak perusahaan
Bhakti Investama. Ini klop dengan rencana Harry untuk menjadikan Bhakti
sebagai perusahaan investasi. Benarkah demikian? Harry tak mau
berkomentar. Sinyalemen keberadaan si raja portofolio di balik akuisisi
itu pun makin kuat.
PT Bentoel Prima (BP) sesungguhnya merupakan salah satu anak perusahaan
obligor kakap Grup Rajawali, milik pengusaha Peter Sondakh. BP
mengantongi kewajiban senilai Rp 214,29 miliar dari total utang macet Rp
2,14 triliun. Celakanya, pemegang saham mayoritas atas nama PT Amanat
Surya Kudus juga terjerat petaka yang sama. Perusahaan investasi ini
masih harus berurusan dengan BPPN karena tunggakan utang senilai Rp 8,20
miliar. Nilai akuisisi 75 persen saham Bentoel senilai Rp 315 miliar,
paling tidak, bisa menutupi kewajiban dua perusahaan itu senilai Rp
222,49 miliar.

Masih Jauh
Selain berganti nama, Transindo dikenal getol mengganti core business.
Semula, dengan nama Rimba Niaga Idola, perusahaan ini bergerak di bidang
tekstil. Tahun 1997, perusahaan ini beralih ke bisnis perdagangan umum
dan namanya pun berganti menjadi Transindo Multi Prima. Tak puas di
bisnis ini, manajemen perusahaan melirik bisnis distribusi rokok.

Dari sini pula Transindo menjadi kendaraan beberapa pemodal untuk
menguasai saham Bentoel Prima yang kebetulan sedang punya problem
keuangan. Namanya pun berganti menjadi Bentoel International Investama.
Nama Bentoel mengekspresikan pealihan konsentrasi bisnis, sedangkan
investama, boleh jadi berkaitan dengan kehadiran Bhakti Investama di
sana.

Soal nama Bentoel yang mendompleng, sempat mengundang perdebatan.
"Praktik seperti itu, de facto merupakan back door listing," ujar
seorang analis asing. Hanya saja, itu masih disiasati dengan penguasaan
portofolio melalui perusahaan lain. Toh, menurut dia, yang paling
diandalkan adalah bisnis rokok.
Sinyalemen lain mengatakan, hal itu dilakukan untuk memuluskan niat
Soros yang lebih tertarik menguasai portofolio. Maksudnya, agar ada
saluran lewat perusahaan publik. Dengan begitu, bila kondisi kurang
menguntungkan, saham akan bisa diguyur ke pasar.

Skenario pembelian saham dua perusahaan itu (Bentoel dan Lestariputra),
sontak menggelembungkan kinerja perseroan. Asetnya membengkak dari Rp
6,8 miliar (per Oktober 1999) menjadi Rp 1,38 triliun. Trnsindo mendadak
jadi perusahaan besar. Bahkan aset PT Lestariputra pun jauh mengungguli
Transindo yakni sebesar Rp 99,11 miliar.

Selain memproduksi rokok, Bentoel Prima masih memiliki beberapa divisi
penunjang seperti pengemasan, printing serta transportasi. Lestariputra
pun masih di sektor yang sama dengan Bentoel. Perusahaan ini memproduksi
dan memperdagangkan rokok kretek. Salah satu merek yang terkenal adalah
Star Mild.
Di bursa, sebelum rencana akuisisi itu diembuskan, saham Transindo
sesungguhnya tergolong tak aktif diperdagangkan. Belakangan, pergerakan
saham ini tampak sangat tidak wajar. Sejak November 1999 hingga 14
Januari 2000, saham ini sama sekali tak diperdagangkan dan terpaku di
posisi Rp 1.600 per lembar. Tak lebih sebulan kemudian, tepatnya 8
Februari, harga sahamnya telah melambung ke posisi Rp 19.000 per lembar.

Atas lonjakan dahsyat itu, Harry punya jawaban. "Ya, kalau harga saham
Gudang Garam bisa di angka belasan ribu, mengapa tidak untuk Bentoel
International Investama," ujar Harry Tanoesoedibjo, enteng.

Anehnya, belum juga berakhir bulan Februari, pada tanggal 18 Februari
lalu, saham ini telah terjerembab ke posisi Rp 7.750 per lembar.
Rupanya, tak mudah untuk untuk menyaingi Gudang Garam. Seorang analis
mengatakan, upaya Bentoel International Investama menyaingi harga saham
Gudang Garam tak bakal terwujud. Selain size-nya kecil, pangsa pasar
Bentoel dan Star Mild jauh di bawah produk Gudang Garam. Apalagi,
akuisisi itu baru langkah awal untuk konsolidasi. Jadi, perusahaan ini
masih harus membuktikan dulu kinerjanya.
Sumber: http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/7316?var=1