Rabu, 29 Juli 2009

Qatar Petroleum Vacancy


Expiry Date : August 09, 2009

Health, Safety and Environment Opportunities, Onshore and Offshore-QATAR

Qatar Petroleum
www.qp.com.qa

Qatar Petroleum is the National Oil Company of the State of Qatar. Working in Qatar offers a secure, family-oriented lifestyle where expatriate employees and their families are encouraged to fully participate in the community. All posts offer excellent locally tax-free salaries together with a comprehensive expatriate package including family status, accommodation and furniture allowances, life insurance and medical coverage, generous annual leave with paid airfares, and other allowances.

We seek to recruit the following qualified HSE professionals

SAFETY ENGINEER (LOSS PREVENTION)
B Sc or equivalent in engineering discipline. Diploma in Safety Management Member of recognized professional safety organization. Hand-on PC experience. 10 years experience in the field of Fire and safety systems design and construction. 3 years experience in the operations of Oil/Gas or Petrochemical Process Plants.

SAFETY OFFICER - OFFSHORE OPERATIONS
B.Sc. or equivalent in engineering discipline. Diploma in Safety Management, Recognized safety courses (e.g.: NEBOSH). Member of recognized professional safety organization. Hand-on PC experience. 12 years working experience in Oil & Gas or petrochemical industry including “hands – on” in Safety operations.

RADIATION PROTECTION OFFICER
B.Sc in Science (Physics, Chemistry, etc.) or relevant Engineering discipline. Postgraduate qualification in Physics or Nuclear Physics is preferred. Valid certification (NRPB) or equivalent qualification. Valid licensing as an RPO or equivalent qualification. Minimum 10 years as a Radiation Protection Officer. At least 5 years experiepce in the oil and gas (or comparable) industry as a Radiation Protection Officer.

FIRE INSTRUCTOR
ONC or equivalent. Successfully completed the International Access and Command Course (Fire Service College, UK). Diploma in Fire-fighting (Team Leader). 10 years experience in safety and fire in the oil, gas and petrochemical industry including a minimum of one year in Safety Operation.

SENIOR SAFETY TECHNICIAN (MAINTENANCE)
Higher Secondary School Education (12 years). 2 years training in technical discipline. Completed Breathing Apparatus Maintenance course. 12 years experience in safety and fire equipment maintenance with minimum 5 years in Oil & Gas environment.

SENIOR SAFETY TECHNICIAN (TRAINING)
Higher Secondary School Education (12 years) Successfully completed a recognized accredited international Access and Command Course Diploma in Firefighting (Team Leader) or other safety related relevant certificate. Passed Fire Investigation/NEBOSH or other relevant Safety related courses, 8 years experience as a firefighter or safety inspector/trainer, instructor with 3-5 years in an Oil and Gas environments inclusive of 3 years as fire and rescue technique instructor.

GENERAL TECHNICIAN (INDUSTRIAL HYGIENE)
Science or Engineering diploma from a recognized educational institution, with formal training in Occupational Hygiene. Registered Occupational Hygienist and/or Certified Industrial Hygienist. Strong working knowledge of equipment and sampling/survey techniques. Strong communication, administrative, time management and organizational skills with 10 years of related experience of which 3-4 years are in the oil and gas industry.

ENVIRONMENT TECHNICIAN (COMPLIANCE MONITORING)
Diploma in Environmental Science or Chemistry, or related field. Knowledge of hazards and safety precautions related to using chemicals and to performing tests on potential hazardous substances. At least 3 years of field sampling and monitoring experience, preferably in oil & gas industry.

GENERAL TECHNICIAN (RADIATION)
Higher Secondary School Education (12 years). Completed 2 years training in a technical discipline, ideally related to radiation protection. Attended safety management course. 6 years experience in safety and fire, related environment with a minimum of 3 years in Oil & gas or comparable environment as a radiation Protection Technician.

LEADING FIREMEN / FIREMEN
Completed Secondary School Education. 3years experience as Fireman. Fire vehicle license preferred.

Please submit a comprehensive C.V. in MS Word Format attachment quoting Job Title to:

PT. GUNAMANDIRI PARIPURNA
Head office: Jl. Kapten Tendean No. 24, Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan 12720, Indonesia Tel: 062- 21-7191060 (Hunting)
Fax: 062-21-7191017 E-mail: qp.hse@gunamandiri.com
LICENCE NUMBER: SIPPTKI NO.KEP.607/MEN/2006 - DATED 30 NOVEMBER 2006

(Only selected candidates will be interviewed).

Rabu, 22 Juli 2009

Jari Telunjuk Ketika Tasyahhud


Waktu Mengangkat Jari Telunjuk

Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.

Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shohih.

Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Maha mulia dan Mahal uhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.

Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.

Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah….”.

Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.

Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.

Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.

Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.


Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya

Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf (perbedaan) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.

Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberadaannya didalam sholat”.

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.

Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.

Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulukan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.


Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk

Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i) Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).

Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’ ”.

Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jarisungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.

Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.

Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”. Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!

Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.


Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.

Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.

Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.

Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”. Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimana pendapat sebagian orang. Wallahu a'lam


Sumber : Kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Syaikh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf

Sabtu, 11 Juli 2009

Mayoritas Warga NU dan Muhammadiyah Pilih SBY-Boediono


Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani, mengatakan, pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mendapat dukungan dari semua suku bangsa di Indonesia dan mementahkan segala alasan penggunaan politik primordial lainnya seperti perbedaan latar belakang gender, daerah, agama, dan ormas keagamaan.

Berdasarkan hasil survei Exit Poll LSI 8 Juli usai pencontrengan, pasangan SBY mendapat dukungan pemilih yang berasal dari suku Minang 86 persen, Bugis 28 persen, Sunda 65 persen, Jawa 64 persen dan Melayu 62 persen.

Sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri (Mega)-Prabowo mendapat dukungan pemilih dari suku Jawa 32 persen, Melayu 28 persen, Sunda 27 persen, Minang sekitar 6 persen dan Bugis sekitar 2 persen.

Pasangan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto mendapatkan dukungan pemilih dari suku Bugis 70 persen, Melayu 14 persen, Minang 9 persen, Sunda 8 persen dan Jawa 7 persen.

Pada wilayah Jawa dan luar Jawa, 61 persen pemilih Jawa menjatuhkan pilihan kepada SBY-Boediono disusul Megawati-Prabowo (31 persen) dan Jk-Wiranto (9 persen). Hal yang sama ditunjukkan pemilih luar Jawa dengan sebaran kepada SBY-Boediono 61 persen, Megawati-Prabowo 22 persen, dan JK-Wiranto 17 persen.

Sedangkan pilihan capres/cawapres menurut wilayah agama, pasangan SBY mendapat dukungan dari Islam sekitar 62 persen, Kristen 52 persen, Katolik 48 persen, Hindu 46 persen. Pasangan capres Mega lebih besar mendapat dukungan dari agama Hindu sekitar 53 persen, Katolik 46 persen, Kristen 42 persen dan Islam sekitar 24 persen.

Selanjutnya, kata Saiful, pasangan capres JK mendapat dukungan dari agama Islam 13 persen, Kristen 6 persen, Katolik dan Hindu masing-masing 1 persen. "Termasuk kaum santri dan abangan, sama-sama 63 persen ke SBY-Boediono," papar Saeful.

Pada wilayah gender, sebanyak 55 persen pemilih laki-laki memilih SBY-Boediono, 31 persen memilih Mega-Prabowo, dan 13 persen memilih JK-Wiranto. Sedangkan pemilih wanita yang memilih SBY-Boediono berjumlah 66 persen dan sisanya kepada Megawati-Prabowo (22 persen) serta JK-Wiranto (12 persen).

Grafik pilihan capres/cawapres menurut afiliasi ormas Islam terbesar di Indonesia juga menunjukkan tren yang sama. Sebanyak 64 persen pemilih NU memilih SBY-Boediono, 26 persen memilih Megawati-Prabowo, dan 10 persen memilih JK-Wiranto.

Di sisi Muhammadiyah, 58 persen anggota organisasi warisan Ahmad Dahlan tersebut memilih SBY-Boediono. Sisanya ke Megawati-Prabowo (24 persen) dan JK-Wiranto (18 persen).

Menurut Saeful, exit poll menunjukkan jika tokoh-tokoh ormas Islam tidak punya pengaruh politik yang berarti kepada para anggotanya. "Dalam urusan pilpres, pertimbangan rasional pemilih yang paling menentukan pilihan. Keberhasilan pemerintahan SBY selama lima tahun melumpuhkan latar belakang politik primordial yang selama ini terjadi di Indonesia," tandas Saeful.

Burhanudin Muhtadi, peniliti dari LSI menambahkan, perkiraan tersebut dihasilkan dari Exit Poll dengan menggunakan sampel 1.948 yang berhasil diwawancarai dengan margin of error satu variabel pokok kurang lebih 2,8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Exit Poll, merupakan sistem untuk mengetahui kepemilihan pasangan capres/cawapres dengan cara mewawancarai sebagian dari pemilih yang baru selesai menggunakan hak pilihnya di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Dengan demikian, exit poll tidak hanya menampilkan angka statistik tetapi juga berusaha menampilkan profil dari pemilih mulai dari alasan kenapa memilih pasangan capres, tingkat pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

"Jadi, hasil yang didapat dari sistem exit poll lebih cepat dan bervariasi dibanding quick count, selain itu diperoleh gambaran detail tentang alasan seseorang memilih salah satu calon satu dengan calon lainnya," kata dia.

Sedang hitung cepat cenderung menampilkan data statistik saja, berupa angka-angka yang didapat dari TPS yang tersebar di seluruh indonesia secara random. (ant/rep/mad)


Sumber : www.nu.or.id