Senin, 30 November 2009

Abu Salafy: Apakah Benar Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Bapak Mazhab Takfiriyah?

Imam Ahmad adalah salah satu ulama besar di zamannya, namun demikian beliau tidak ma’shum dari kesalahan. Kaum Hanbaliyah selalu bersandar kepada pendapat-pendapat Imam Ahmad dalam mengafirkan para penentangnya dari kelompok-kelompok kaum Muslimin lain.

Penukilan yang santer dari Imam Ahmad oleh kaum Hanbaliyah dalam sikap takfîr ini bias benar tetapi bias juga salah/palsu. Apabila benar, maka kita wajib menolaknya sebab syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang yang berhak dijatuhi vonis kafir berdasarkan nash-nash pasti Syari’at Islam tidak terpenuhi di sini. Dan apabila penukilan itu palsu atas nama Imam Ahmad, maka itu adalah bukti kuat adanya kepalsuan di dalam “Gerbong Rombongan” aliran Hanbaliyah.

Kedua asumsi di atas pasti ditolak oleh kaum Hambaliyah/Salafiyah. Mereka menolak bahwa Imam Ahmad mengafirkan kaum Muslimin dan pada waktu yang sama mereka juga menolak bahwa kaum Hanbaliyah telah berbohong dan memalsu atas nama Imam Ahmad!

Tetapi sayangnya, kedua penolkan itu sulit dikumpulkan, sebab penukilan dari Imam Ahmad dalam sikap pengafiran tidak mungkin dipungkiri oleh yang memiliki sedikit pengetahuan tentang peninggalan Imam Ahmad pasti tau hal itu.

Coba Anda baca kitab As Sunnah karya al Khallâl, Thabaqât karya Abu Ya’lâ, Al Ibânah karya Ibnu Buththah, Syarah Ushûl I’tiaqâd Ahlisunnah karya Lâlaka’i, dan sebagianya.

Boleh jadi Imam Ahmad terjatuh dalam sikap seperti itu sebagai reaksi berlebihan terhadap apa yang menimpanya dalam pertentangannya denan kelompok lain, khususnya setelah mereka mendapat dukungan penguasa di masanya dan kemudian melakukan intimidasi dan menekanan serta penyiksaan dan pemaksaan terhadap yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah-masalah yang sedang diperselisihkan. Dan sudah seharusnya para pewaris mazhab Hanbaliyah merevisi sikap seperti itu, agar sikap berani itu mencadi catatan baik bagi mereka, sebabbukankah “semua orang, ucapannya boleh diterima atau ditolak, kecuali Nabi Muhammad saw.’! yang selama ini juga menjadi slogan kaum Hanbaliyah/Wahhabiyah/Salafiyah?!

Di bawah kami akan ajak Anda menyimak beberapa contoh sikap ektrim Imam Ahmad ibn Hanbal.

1) Kaum Hanbaliyah menukil dari Imam Ahmad (tentunya, jika mereka benar dan jujur dalam penukilan itu): “Barang siapa mengklain bahwa Al Qur’an itu makhlûq maka ia adalah seorang Hajmi yang kafir! Dan barang siapa mengklain bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah/kalam Allah, lalu ia berhenti; tidak mengatakan bahwa ia makhlûq maka ia lebih khbîts, busuk dari pendapat pertama. Dan barang siapa mengklaim bahwa ucapan kita dalam melantunkan ayat-ayat Al Qur’an adalah makhlûq dan Al Qur’an adalah Kalamullah maka ia seorang Jahmi. Dan barang siapa yang enggan mengafirkan mereka semua maka ia juga kafir seperti mreka!”.[1]

Abu Salafy berkata: Tidak diragukan bahwa ucapan yang dinukil atas nama Ahmad di atas mengandung ghuluw, sikap berlebihan dalam mengafirkan sesame kaum Muslimin. Dan dari sini kita dapat “memaklumi” sikap gegabah dan berlebihan kaum Hanbaliyah/Wahhabiyah/Salafiyah dalam menvonis bid’ah dan kafir seligus.

Apapun kenyataannya, andai benar ucapan itu pernah disampaikan Imam Ahmad ibn Hanbal, maka perlu diketahui bahwa Islam dan ajaran mulianya jauh lebih mulia dan agung dari Imam Ahmad dan ulama lainnya. Kita tidak akan mengorbankan Islam demi membela Imam Ahmad dan mengatakan bahwa apa yang dikatakan Imam Ahmad itu adalah suar Islam!

Kaum Mu’tazilah tanpa terkecuali meyakin bahwa Al Qur’an itu makhlûq. Apakah mereka menjadi kafir?! Apalagi mereka yang sekedar mengatakan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah/kalam Allah, lalu ia berhenti”, apalagi dengan mayoritas ualam dan penganut mazhab Asy’ari yang meyakini bahwa “ucapan kita dalam melantunkan ayat-ayat Al Qur’an adalah makhlûq”.

Andai kita menerima ucapan Imam Ahmad pastilah kita harus mengafirkan semua mereka itu! Sanggupkah kita mengatakannya?! Ini tentu sangat riskan.

2) Kaum Hanbaliyah menukil dari Imam Ahmad (tentunya, jika mereka benar dan jujur dalam penukilan itu):“Tidak ada kelompok yang lebih berbahaya atas Islam dari Jahmiyah. Mereka tidak bermaksud melainkan membatalkan Al Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw.”[2]

Barang siapa yang bermaksud membatalakn Al Qur’an dan Sunnah pastilah ia kafir, akan tetapi dari mana kita dapat memastikan bahwa mereka itu bermaksud demikian?!

3) Kaum Hanbaliyah menukil dari Imam Ahmad (tentunya, jika mereka benar dan jujur dalam penukilan itu): “Barang siapa berpendapat bahwa ucapan/bacaan Al Qur’annya adalah makhlûq maka ia seorang Jahmi akan dikekalkan dalam api neraka.”[3]

Pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al Qur’annya adalah makhlûq itu dikenal dengan nama Lafdziyah. Pendapat ini telah diyakini oleh banyak ulama Islam, seperti Imam Bukhari dan Al Karâbisi, bahkan hampir seluruh umat Islam, selain Hanbaliyah berpendapat demikian. Lalu apakah mereka semua kafir dan akan akan dicampakkan ke dalam api nereka?! Selain itu, siapa yng menginformasikan kepada Ahmad dan selainnya bahwa setelah masuk neraka nanti, mereka tidak akan dikelurkan lagi alias kekal, khâlidîna Fîhâ? Subhanallah, ini sangat keterlaluan!Jika akhir-akhir ini, teman-teman Wahhabi mengelak jika dikatakan bahwa Imam Ahmad -simbol Salaf dalam pandangan mereka- telah menvonis kafir seraca person, mu’ayyan, maka kami akan nukilkan sebuah data yang melaporkan bahwa al Marwazi menukil dari Imam Ahmad, “Aku berkata kepada Abu Abdillah -Imam Ahmad-, ‘sesungguhnya al Karâbisi-seorang ulama Mazhab Syafi’i- berpendapat bahwa’ siapa yng tidak meyakini bahwa bacaan Al Qur’annya makhlûq maka ia kafir.’ Maka Ahmad berkata, ‘Dialah yang kafir!’”[4]

4) Telah dinukil dari pembesar Mazhab Hanbaliyah, khususnya Imam Ahmad sendiri bahwa mereka menghalalkan darah kelompok yang meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhlûq.Dan yang enggan mengafirkan mereka maka ia tidak boleh didengar hadisnya, tidak boleh diucapkan salam atasnya, sekalipun kerabat kita, tidak boleh melayat jenazahnyan, jika sakit tidak boleh dijenguk.[5] Ini adalah sangsi atas yang enggan mengafirkan mereka, lalu apa bayangan kita tentang yang meyakininya sendiri?!Walaupun harus kita akui, bahwa para penagnut Sekte Wahhabiyah sekarang tidak lagi mengafirkan mereka yang meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhlûq, mereka hanya menvonisnya sebagai penyandang Bid’ah, atau menvonisnya sebagai kafir kecil yang tidak mengeluarkannya dari lingkaran Islam, kufrun dûna kufrin! Jadi dengan demikian dapat kami katakana, para penganut sekte Wahhabiyah adalah kafir semua menurut vonis Imam Ahmad di atas!! Akankah kita menerima itu? Tentu tidak!!!Dari sini dapat kita mengerti bahwa Imam Ahmad sangat ektrim dalam pengafiran sesame Muslim, tentunya jika nukilan-nukilan itu benar dari beliau! Dan inilah akar Doktrin Takfîr yang harus disebantas keberadaaannya dari pikiran kaum Muslimin.Tidakkah benar apabila kita melempar batu tuduhan kepada para pemikir Islam, seperti Sayyid Quthb, al Maududi dan lainnya, bahwa merekalah yang menyulut “sumbu bom” pengafiran yang sedang digandrungi sebagian pemuda Muslim di berbagai belahan dunia Islam! Semua akarnya dapat ditemukan dalam pernyataan dan doktrin Imam Ahmad ibn Hanbal dan para pemuka Mazhab Hanbaliyah, tidak terkecuali pendiri Sekte Wahhabiyah!

5) Yang berbahaya adalah bahwa vonis pengafiran yang dijatuhkan Imam Ahmad dan para penganut mazhabnya atas lawan-lawan mazhabnya adalah pengafiran yang mengeluarkan dari agama Islam dengan segala konsekuaensinya; halal darahnya, istrinya harus dipisah darinya dll. Dan kelak di akhirat akan dikekalkan di dalam apai neraka!Perhatikan apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Hâtim –salah seorang ualam bermazhab Hanbali-, ia berkata, “Barang siapa mengklaim bahwa Al Qur’an adalah makhlûq maka ia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama!! Dan barang siapa yang mengerti dan tidak bodoh tetapi meragu akan kekafirannya maka iam juga kafir!!”[6] Abu Salafy berkata: Kami serahkan kepada Anda untuk menilai kekakuan dan kesempitan perpikir yang muncul dari ulama dan pembesar Mazhab Hanbali seperti di atas!



[1] Thabaqât al Hanâbilah,1/29.

[2] Thabaqât al Hanâbilah,1/47.

[3] Thabaqât al Hanâbilah,1/47.

[4] Thabaqât al Hanâbilah,1/62.

[5]Thabaqât al Hanâbilah,1/157.

[6] Thabaqât al Hanâbilah,1/286

sumber: http://abusalafy.wordpress.com/2007/12/30/latar-belakang-dokrtin-mazhab-takfiryah-2/

Jumat, 23 Oktober 2009

KH. Muhammad Nuruddin Al-Banjari: Tradisi Sanad Sudah Hilang

Dalam tradisi keilmuan Islam, sanad adalah sesuatu yang penting. “Menurut ulama salaf, sanad dianggap sebagai bagian dari agama sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Al-Mubarok,”jelas KH. Muhammad Nuruddin Al-Banjari. Alumni Universitas al-Azhar asy-Syarif, Mesir ini sendiri dikenal sebagai ulama yang memiliki banyak sanad. Bukan hanya di bidang hadits, tapi setiap kitab yang dipelajarinya, sanadnya bersambung kepada pengarang kitab tersebut.
Dalam tradisi keilmuan Islam, sanad adalah sesuatu yang penting. “Menurut ulama salaf, sanad dianggap sebagai bagian dari agama sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Al-Mubarok,”jelas KH. Muhammad Nuruddin Al-Banjari. Alumni Universitas al-Azhar asy-Syarif, Mesir ini sendiri dikenal sebagai ulama yang memiliki banyak sanad. Bukan hanya di bidang hadits, tapi setiap kitab yang dipelajarinya, sanadnya bersambung kepada pengarang kitab tersebut.
Nuruddin punya banyak sanad, karena ia termasuk orang yang senang belajar secara talaqqi(langsung dibawah bimbingan seorang guru) kepada para ulama yang memiliki sanad. Ada sekitar 35 ulama kenamaan yang pernah menjadi gurunya sewaktu ia belajar di Mekkah dan Mesir. Diantara ulama itu antara lain Syeikh Al-Allamah Hasan Masshath yang mendapat gelar Syeiku-ul-ulama' rahimahullah, Syeikh Al-Allamah Muhamad Yasin Al-Fadani rahimahullah yang mendapat julukan Syeikhul Hadits Wa Musnidud Dunya, Syeikh Ismail Usman Zien rahimahullah yang digelar Alfaqih Ad-Darrakah, Syeikh Abd. Karim Banjar hafizohullah, Syeikh Suhaili Al-Anfenani, As-Sayyed Mohd. Alwi Al-Maliki, Syeikh Said Al-Bakistani dan sebagainya.
Tradisi sanad itu sekarang ini oleh Nuruddin diakui lemah karena orang lebih senang belajar secara instant. Sedang belajar secara talaqqi itu memerlukan kesabaran tersendiri. “Sekarang ini maunya serba cepat dalam mencari ilmu,”katanya lagi.
Padahal menurutnya, para ulama dulu sangat sabar mencari ilmu. Mereka rela berlama-lama belajar kepada seorang ulama sampai tamat. Bukan hanya itu mereka juga harus mempersiapkan mental yang kuat ketika misalkan harus disuruh atau dibentak oleh sang guru. “Kalau anak sekarang dibentak langsung lari,”jelasnya.
Berikut wawancaranya yang pernah dimuat majalah Hidayatullah yang dikutip oleh InpasOnline.com

Tradisi mencari ilmu dengan menjaga sanad sudah amat langka saat ini, bagaimana komentar ustadz?
Sebenarnya tradisi itu masih ada di pesantren-pesantren kita. Hanya saja para santri tidak menanyakan sanad kitab yang dipelajarinya. Mereka tidak peduli melalui siapa saja mendapatkan pengetahuan tentang kitab itu, hingga sampai kepada penulisnya. Bisa juga karena si kiai tidak terlalalu memperhatikan masalah itu. Atau mereka memang belum sempat mendapatkan ijazah tentang periwayatan kitab tersebut. Di Indonesia, ulama yang memperhatikan sanad itu masih bisa dihitung jari. Apalagi setelah wafatnya Syeikh Yasin Al Fadani, sebagai seorang musnid. Setelah itu tidak ada lagi ijazah, yang dampaknya kita tidak tahu ilmu yang pelajari sampai kepada siapa snadnya.
Pengalaman Ustadz sendiri, dalam memperoleh sanad?
Seingat saya, sewaktu belajar di Makkah tahun 80-an, saya mengkaji kitab dengan cara talaqqi, istilahnya dari kulit ke kulit (dari sampul awal hingga sampul akhir). Nah, setelah itu kita diijazahi. Dengan begitu saya tahu membaca Shahih Al Bukhari dari guru saya, fulan bin fulan, hingga terus sampai kepada Imam Al Bukhari.
Apa sebenarnya fungsi dari sanad sendiri?
Ini terkait dengan masalah tradisi para ulama salaf ketika hendak memberi syarah terhadap sebuah hadits. Kita harus tahu siapa orang yang mensyarah hadits, memberi komentar, atau khasiyah (catatan kaki). Sebab banyak orang bisa memahami sebuah hadits tapi tidak bisa mengungkapkan dan tidak tepat memaknainya. Inilah sebagian manfaat, min fawaidi at talaqi, supaya kita memaknai hadits itu tepat, walau tidak dijamin 100 persen. Tapi insyaallah dengan talaqqi, pemahaman kita tidak akan lepas dari maksud dan tujuan penulis. Jadi bisa kita katakan al haqiqah ala ma’na shohih.
Kalau begitu, apa dampak negatif jika belajar tanpa didampingi seoarang guru?
Kalau dulu yang namanya syeikh takharuj amat menentukan sekali. Dari periwayatan ilmunya bisa diketahui sejauh mana pemahamannya. Akan tetapi jika belajar melalui majalah, internet, cd atau televisi, sulit diukur pemahamannya. Tapi sudah berani berfatwa sehingga sekan-akan ia siap menjawab semua masalah dalam satu waktu.
Mungkin di Indonesia hal ini menjadi masalah karena orang-orang terlalu berani berfatwa. Ini berbeda dengan tradisi para salafuna as shalih. Jika ada pertanyaan, maka masing-masing saling menunjuk. Bukan kerana tidak mengerti, akan tetapi mereka amat hati-hati. Sebab jangan-jangan ada yang lebih pandai dan lebih berilmu. Kita sekarang hubbu tashadur, pingin berada di depan. Kadang-kadang hal-hal yang di luar bidangnya sudah berani berfatwa.
Apa akibat bagi orang yang bukan bidangnya tapi sudah berani berfatwa?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayidina Ibnu Umar disebutkan bahwa orang yang paling berani mengeluarkan fatwa adalah orang yang menjerumuskan diri ke neraka jahanam. Ajra’ukum ala al fatwa, ajra’ukum ala nari jahanam. Oleh karena itu para sahabat saling tadafuk (mempersilahkan yang lain) dalam fatwa. Kalau dalam fatwa mereka seperti itu, tapi kalau dalam ibadah mereka akan berlomba-lomba. Jika masalah fatwa ayakfihi ghoiruhu (menyukupkan dengan orang lain). Misalkan Ibnu Abi Laila bertanya kepada Abu Hanifah, tapi beliau menyuruh orang tersebut bertanya kepada Zufar. Oleh Zufar disuruh tanya kepada Sofyan At Tsauri. At Tsauri menurruh bertanya kepada Abu Hanifah.
Akhlak seperti ini sudah sedikit di negeri ini. Banyak orang yang dari segi usia, ilmu dan pengalaman masih mudah, tapi sudah berani berfatwa. Bukan hanya itu, ia juga seenaknya memvonis orang lain mubtadi’ (orang yang berbuat bid’ah), dhaal (sesat) dll. Padahal mencela mukmin itu fasiq, apalagi mengkafirkan, sibabul mukmin fusq. Anehnya yang ia sesatkan itu masih dalam batas khilafiah.
Pengalaman Ustadz berguru kepada beberapa ulama di Mesir?
Kalau di Mesir biasanya masyayikh yang pakai jubbah yang mengalamai belajar secara talaqqi kepada para masayikh sebelumnya di masjid Al Azhar, yang dinamakan al jami’ bukan al jami’ah. Syaikh Muntashir pada waktu itu kalau mengajar tafsir hanya membawa mushaf saja, tidak pernah pakai kitab. Demikian juga Syeikh Sya’rawi tidak pegang Al Qur’an. Orang yang mengajilah yang membawa Al Qur’an. Beliau-beliau ini tidak membawa tafsir karena sudah hafal.
Bagi orang yang tidak pernah talaqi, dia tidak akan merasakan pancaran nur saat bertemu dengan masyayikh. Ada kiai yang menyuruh baca sekali, dua kali, dan tiga kali, tapi dia tidak menerangkan. Nah, kadang tanpa keterangan itu santri bisa paham sendiri.
Bagaimana ustadz melihat para pencari ilmu saat ini?
Adab mahasiswa terhadap para dosen sudah tidak ada. Ijlal (memulyahakan) masyayih juga tidak ada. Juga penghargaan terhadap karya dan penulis para ulama tidak ada. Itu yang kita rasakan.
Pada jaman saya di Mesir, sudah ada mahasisiwa yang meminta dosennya berhenti, “duktur kifayah ba’ah, dza sa’atain kholas “ (Pak dosen, sudah cukup. Ini sudah dua jam, kapan berhentinya!). Inilah yang menyebabkan faktor keberkahan ilmu itu lenyap. Jadi keberkahan ilmu itu tidak diindikasikan dari bisa menulis atau tidak bisa ceramah, atau bisa terjun ke masyarakat. Kalau sekedar itu siapa saja bisa melakukannya. Akan tetapi yang namanya keberkatan ilmu itu berhubungan dengan kehidupan. Ia betul-betul mengawal perjalanan hidup.
Jadi, sebelum menyuruh, kita harus sudah disuruh dan mengerjakan. Sebelum melarang, kita harus sudah tingalkan. Inilah namanya dakwah bil hal itu yang pengaruhnya cukup kuat. Kadang ada sebuah masalah yang sudah dijelaskan, dikupas dengan tuntas, tapi tidak tidak berdampak apa-apa. Orang berbicara tasawuf, tapi ia meninggalkan tasawuf . Lain hal dengan ulama-ulama terdahulu. Kadang hanya dijelaskan dan disuruh baca, atau sekedar. Ini yang saya rasakan dengan syaikh Isamil, syaeik Yasin dan syeikh Hasan Masyat yang tidak sama mengajarnya dan sedikit penjelasanyya. Tapi alhamdulillah kawan-kawan yang di Makkah semuanya menjadi kiai, khususnya yang berada di Madura.
Bisa dikatakan bahwa hanya bertemu dengan guru sudah membantu sebuah pamahaman?
Sering kali kita belum bertanya ternyata sudah mendapat jawaban. Ada yang ingin kita tanyakan tentang malabis (masalah pakaian), adab naum, adab al aql (makan), adab al masyi (berjalan), jilsah (duduk) atau ibadah. Kadang kita sudah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan, akan tetapi dengan duduk saja sudah memahami keterangan guru. Saya rasa sudah jarang ada ulama yang memiliki ittishal ruhi (hubungan ruh), itishal batin (hubungan batin), dan mampu memperolah jawaban pertanyaan-pertanyaannya tanpa harus bertanya terlabih dahulu.
Contohnya, syaikh Abu Hasan Ali An Nadawi adalah ulama paling bebal dan susah memahami sesuatu. Suatu ketika kebetulan orang tua guru beliau sakit sehingga pengajian hendak diliburkan. Melihat hal itu syeikh Abu hasan berkata kepada gurunya,”Syeikh ngajar saja, biar persoalan orang tua saya yang nangani”. Akhirnya Abu Hasan ini yang merawat orang tua gurunya. Di saat pengajian selesai dan si gruru masuk ruangan, ia melihat Abu Hasan membersihkan kotoran orang tuanya yang sedang buang air. Akhirnya si syeikh meneteskan air mata dan mengucapkan barakallah fik (semoga Allah memberkatimu) dan mendoakannya. Akhirnya, seperti diceritakan sendiri oleh syeikh Abu Hasan Ali An Nadawi bahwa sejak itu pikirannya menjadi terbuka, sehingga para ulama Mesir terkagum-kagum dengan tulisan An Nadwadi dan karya-karyanya. Padahal beliau masih berumur 19 tahun. Diantaranya yang kagum adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi, As Sya’rawi, dan Sayyid Qutub.
Orang tua biasanya kasihan dengan kesehatan fisik kita. Tapi guru itu kasihan dengan ilmu kita. Sehingga kalau kita belajar dengan seorang guru, maka ilmu akan lebih mudah diserap dan berdampak. Ilmu terserap tidak hanya karena pengajian kita, tapi doa dan munajat para guru. Dalam buku-buku ulama klasik biasanya tertulis, i’lam hadaniya Allah wa iyakum (ketahuilah, semoga Allah memberi hidayah kepada saya dan diri kalian). Itu doa untuk pembaca kitab, nah mana aja majalah yang seperti itu?
Apakah talaqqi terlalu susah, sehingga banyak yang lari dengan membaca buku sendiri?
Gak susah juga, mungkin karena para masyayih sekarang tidak ada waktu untuk meluangkan diri mengajar dengan tradisi seperti itu. Yang bisa seperti itu biasanya adalah kiai-kiai zuhud, yang merasa cukup dengan keadaan apa adanya. Sedang bagi kiai yang hidupnya harus menyesuaikan keadaan, tidak ada waktu untuk itu. Masayikh –masayikh ana di Mekkah itu keperluannya sudah dipenuhi. Sehingga itu tidak hanya menyumbangkan ilmu, tapi juga materi. Ngaji di sana digaji, gimana gakbetah? Kalau pas zakat setiap guru memberi 500 real. Kalau lima guru saja sudah hampir 3000 real atau 7 juta. Nah sekarang mana ada masyayikh seperti itu.
Sekarang malah sebaliknya, santri yang dikuras. Jadi sudah susah ditemukan seorang syeikh yang memiliki waktu untuk talaqqi, padahal kalau dulu sampai imla’ hadits. Imam Yahya Ibnu Ma’in itu punya harta besarnya satu milyar dirham. Semuanya diinfaqkkan untuk mencari ilmu, hingg sandal saja tidak punya. Jadi dulu duit dihabiskan untuk ilmu, kalau sekarang sebaliknya, ilmu untuk cari uang.

sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=208:kh-muhammad-nuruddin-al-banjari-tradisi-sanad-sudah-hilang-&catid=50:nasional&Itemid=111

Kamis, 27 Agustus 2009

Waktu Imsak Yang Dipertanyakan

Banyak juga kawan-kawan di Qatar bertanya-tanya mengapa di jadwal Ramadhan di Qatar tidak ada waktu imsak. Bahkan banyak yang meragukan pentingnya imsak. Imsak yang dimaksud disini sebagaimana kita ketahui di Indonesia adalah waktu berhenti makan sebelum waktu Subuh tiba yaitu sekitar 10-15 menit sebelum subuh.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih Al-Bukhari:

بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُوْرِ وَصَلاَةِ الْفَجْرِ

“Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar”. Maksudnya (jarak waktu) antara selesainya sahur dengan permulaan shalat Fajar. (Fathul Bari, 4/164)
Dan hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Al-Bukhari pada kitab Tahajjud, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, beliau ditanya:

كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat 852 H) dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit.

Namun boleh saja apabila kita terpaksa makan-minum dalam waktu tersebut asalkan pada waktu masuk subuh sudah tidak ada lagi makanan tersisa di mulut kita, karena waktu puasa sesungguhnya dimulai dari terbit fajar/waktu subuh hingga terbenam matahari. Waktu imsak hanya sebagai pengingat dan membuat kita lebih waspada. Bukanlah akhlak Rasulullah saw dan para sahabat ra pada waktu subuh tiba masih asyik dengan hidangan makanan didepannya, sehingga telat pula menuju masjid untuk menunaikan subuh berjama’ah.

Jadi jangan sampai tertipu dengan perkataan sebagian minoritas yang membid’ahkan imsak sebelum subuh. Wallahu a’lam.

Sabtu, 22 Agustus 2009

Jadwal Shalat di Qatar

Sekedar pemberitahuan bagi kawan-kawan di Qatar yang sulit mendapatkan jadwal shalat dan imsakiyah (ramadan timetable) bisa langsung cek online di http://www.guidedways.com/prayertimes/prayertimings.php?country=qatar&city=Doha&state=Ad+Dawhah&latitude=25.2867&longitude=51.5333

Jumlah Bilangan Rakaat Shalat Tarawih


Sepertinya ini masalah yang terus hangat sampai sekarang. Juga seperti yang kami ketahui di Qatar juga terdapat masjid yang mendirikan Tarawih 8 rakaat tidak termasuk witir dan ada yang 20 rakaat tidak termasuk witir. Jumlah rakaat Tarawih yang masyhur di zaman ini adalah 8, 20, dan 36 rakaat tidak termasuk witir. Berbicara tentang dalil maka akan panjang sekali dan tidak akan pernah ada habisnya perdebatan. Namun yang perlu diketahui adalah 4 mazhab Ahlussunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sebagaimana diketahui khalayak ramai bahwa telah sepakat menetapkan 20 rakaat untuk bilangan Shalat Tarawih. Adapun Mazhab Maliki memang terdapat 2 pendapat dikalangan para ulamanya, ada sebagian yang mendukung 20 rakaat dan sebagiannya mendukung 36 rakaat. Tak ada satupun mazhab Ahlussunnah menetapkan 8 rakaat salat tarawih. Hafiz Ibnu Hajar & Hafiz Suyuthi walaupun mengatakan ada cacat dalam hadits-hadits 20 rakaat namun mereka sebagaimana telah diketahui adalah pengikut mazhab Syafi’i, yang sudah barang tentu mendukung 20 rakaat. Dan begitu juga yang berlaku di Masjid al-Haram di Makah al-Mukarramah secara turun-temurun.

Sehingga tidak ada pijakan kuat untuk mengikut pada Tarawih 8 rakaat. Kalau membaca 2 atau 3 hadits sudah bisa istinbath hukum maka sebaiknya kita bakar saja kitab-kitab para ulama terdahulu, kita hapus juga mata kuliah Ushul Fiqh yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi, sungguh lancang. Karena membaca hadits dan menafsirkan sendiri tanpa merujuk pendapat para ulama berakibat melahirkan mazhab-mazhab baru dan faham-faham baru yang tidak kompeten, bahkan di Indonesia banyak bermunculan aliran sesat dengan jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa merujuk pendapat para ulama terdahulu.

Kami tidak bermaksud memusuhi pendukung Tarawih 8 rakaat karena ini masalah fur’iyyah. Kami hanya ingin menegaskan bahwa 4 mazhab Ahlussunnah tidak ada yang menetapkan 8 rakaat. Adapun ukhuwwah harus tetap dijaga. Wallahu a’lam

Kamis, 20 Agustus 2009

Metode Hisab (Perhitungan Astronomis)


Dengan ditempatkan sebagai acuan perhitungan kalender, siklus peredaran Bulan dan Matahari itu logisnya harus bersifat eksak, dan nyatanya memang demikian. Al-Qur'an (ar-Rahman ayat 5) menegaskan: "Asy-syamsu wal-qamaru bihusban" (Matahari dan Bulan beredar dengan perhitungan), dan hasil penyelidikan ilmu pengetahuan membenarkan hal itu. Konsekuensi logisnya -karena peredaran Bulan dan Matahari bersifat eksak- adalah bahwa penyusunan kalender yang mengacu kepada peredaran kedua benda langit tersebut tentu bisa dilakukan dengan hisab atau perhitungan.

Dengan observasi atau rukyat yang cermat dan berulang-ulang terhadap posisi benda-benda langit, manusia telah mengetahui ihwal peredaran benda-benda langit yang eksak itu beserta lintasannya. Observasi seperti itu telah dilakukan oleh bangsa Babilonia yang berada di antara sungai Tigris dan sungai Efrat (selatan Irak sekarang) pada kurang-lebih 3.000 tahun sebelum Masehi. Mereka sudah menemukan dua belas gugusan bintang-bintang (zodiak) di langit yang posisinya mereka bayangkan membentuk satu lingkaran. Setiap gugusan bintang akan berlalu setelah 30 hari. Penemuan mereka itu akhirnya melahirkan ilmu geometri dan matematika, ilmu ukur dan ilmu hisab (hitung).

Ilmu perbintangan bangsa Babilonia itu kemudian dibawa oleh pedagang-pedagang dari Tunisia ke Yunani. Di antara orang Yunani yang kemudian dikenaI ahli dalam ilmu perbintangan (astronomi) dan geografi adalah Claudius Ptolemaeus (100-178 M.). Selanjutnya bangsa Arab mengambil alih ilmu perbintangan tersebut dari Yunani. Selama beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632 M.), yakni pada zaman gemilangnya imperium Arab, kekayaan ilmu dari Yunani itu dikaji, diterjemahkan, dan sisajikan kembali dengan tambahan-tambahan komentar yang penting. Buku peninggalan Claudius Ptolemaeus yang disalin ke dalam bahasa Arab dinamakam Ptolemy’s Almagest (magest yang artinya ”usaha yang paling besar” adalah kata-kata Yunani yang diarabkan dengan imbuhan "al")

Salah seorang ulama Islam yang muncul sebagai ahli ilmu falak terkemuka adalah Muhammad bin Musa al-khawarizmi (780-850). Dialah pengumpul dan penyusun daftar astronomi (zij) yang tertua dalam bentuk angka-angka (sistem perangkaan Arab diperoleh dari India) yang di kemudian hari termasyhur dengan nama daftar algoritmus atau daftar logaritma. Daftar logaritma al-Khawarizmi ini ternyata sangat menentukan dalam perkiraan astronomis, sehingga ia berkemhang sedemikian rupa di kalangan (sarjana astronom, mengalahkan teori-teori astronomi serta hisab Yunani dan India yang telah ada, dan bahkan berkembang sampai ke Tiongkok.

Dari bangsa Arab, ilmu falak kemudian menyebrang ke Eropa, dibawa oleh bangsa Eropa yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla, Granada, dan Cordoba. Muncullah di Eropah Nicolas Copernicus (1473-1543), ahli ilmu falak dari Polandia yang mencetuskan teori heliosentris yang masih digunakan sampai sekarang. Selanjutnya, dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei (1564-1642) yang menguatkan teori Nicolas Copernicus, ilmu falak kian maju lebih jauh lagi.

Penguasaan ulama Islam terhadap ilmu falak telah memungkinkan mereka untuk melakukan penyusunan kalender berdasarkan hisab. Karena ini fenomena baru, maka ramailah perbincangan mengenai soal itu dari sudut hukum Islam (fiqh). Di tengah kontroversi boleh tidaknya berpedoman pada hisab, sejumlah fuqaha seperti lbu Banna, Ibnu Syuraih, al-Qaffal, Qadi Abu Taib, Mutraf, lbnu Qutaibah, lbnu Muqatil ar-Razi, Ibnu Daqiqil ‘Id, dan as-Subki, membolehkan penggunaan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.

Metode Hisab

Kendati sama rnengacu pada perhitungan siklus peredaran Bulan mengelilingi Bumi, tetapi dalam implementasinya dikenal adanya dua sistem hisab dalam penyusunan kalender qamariyah, yakni Hisab Urfi dan Hisab Hakiki.

a.Hisab Urfi
Dalam sistem Hisab Urfi, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan rata-rata Bulan mengelilingi Bumi, yakni 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (masa yang berlalu di antara dua ijtimak yang berurutan, atau satu bulan Sinodis). Berdasarkan perhitungan ini, maka satu tahun (12 bulan) dihitung sama dengan 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik (354 11/30 hari).

Karena terdapat angka pecahan sebesar sebesar 11/30 hari, maka untuk menghilangkannya sistem ini membuat siklus 30 tahunan dalam kalender qamariyah yang terdiri dari 19 tahun Basitah (354 hari) dan 11 tahun Kabisat (355 hari). Tahun-tahun Kabisat (tahun panjang) dalam siklus 30 tahun tersebut jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Umur bulan dalam sistem ini dibikin tetap, yakni 30 hari untuk buJan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap (kecuali bulan ke 12 pada tahun-tahun Kabisat berumur 30 hari).

Dengan sistem ini, awal bulan-bulan qamariyah di segenap belahan Bumi akan selalu jatuh pada hari yang sama. Tetapi karena mengesampingkan variabel penampakan hilal, maka –dalam kerangka penentuan waktu untuk pelaksanaan hukum syari'at- sistem ini tidak banyak dianut oleh kaum muslimin.

b. Hisab Hakiki
Dalam sistem Hisab Hakiki, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan Bulan yang sebenarnya (hakiki). Karena itu, panjang masa yang berlalu di antara dua ijtimak berurutan (satu bulan sinodis) tidak selalu sama setiap bulan. Kadang hanya 29 hari lebih 6 jam dan beberapa menit, dan kadang sampai 29 hari lebih 19 jam dan beberapa menit. Berkaitan dengan ini, maka umur bulan yang selalu tetap seperti dalam Hisab 'Urfi tidak dikenal dalam sistem ini. Boleh jadi 29 hari berturut-turut, atau 30 hari berturut-turut.

Dalam praktiknya, sistem ini menyusun kalender dengan memperhitungkan posisi Bulan. Karena itu untuk penentuan waktu-waktu ibadah sistem Hisab Hakiki ini banyak dianut oleh kaum muslimin.

Berbagai metode hisab banyak dikembangkan pada alur sistem ini. Dari segi akurasinya, metode-metode hisab tersebut lazim dikategorikan menjadi tiga, yakni Taqribi, Tahqiqi dan Kontemporer.

Taqribi menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya "kurang-lebih", yakni membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Metoda hisab Sullamun Nayyirain, Fathur Rauf al-Mannan dan sejenisnya dipandang masuk dalam kategori ini.

Tahqiqi menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak dengan memanfaatkan perhitungan ilmu ukur segitiga bola. Metoda hisab Badi'atul Mitsal, Khulashatul Wafiyah dan sejenisnya dihitung masuk dalam kategori ini.

Kontemporer sama dengan Tahqiqi dalam cara menentukan derajat ketinggian Bulan. Bedanya, hisab Kontemporer mengacu pada data astronomis yang selalu diperbaharui atau dikoreksi dengan penemuan-penemuan terbaru. Metoda hisab Jean Meus, Almanak Nautika dan sejenisnya dianggap masuk dalam kategori ini.

Perbedaan penentuan awal bulan qamariyah dengan sistem Hisab Hakiki mungkin saja terjadi, dan ltu -setidaknya- dapat dipulangkan pada tiga faktor. Pertama, karena perbedaan akurasi perhitungan antara metoda-metoda hisab Taqribi, Tahqiqi, dan Kontemporer itu tadi. Kedua, karena perbedaan pandangan mengenai acuan penentunya: apakah ijtimak (konjungsi) sebelum terbenam Matahari, atau posisi Bulan di atas ufuk secara mutlak, ataukah posisi Bulan di atas ufuk yang telah memenuhi syarat imkan rukyah (visible). Ketiga, karena perbedaan posisi tempat di berbagai belahan Bumi (perbedaan matla'). Demikianlah. Wallahu A’lam.

KH Abdul Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Jawa Timur

Rabu, 05 Agustus 2009

Busyra (Berita Gembira) untuk Ahlussunnah; al Asya'irah dan al Maturidiyyah


Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: "Konstantinopel (Istanbul sekarang) pasti akan dikuasai, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang berhasil manguasainya dan sebaik-sebaik tentara adalah tentara tersebut" (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya).


Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam memuji sultan Muhammad al Fatih karena beliau adalah seorang sultan yang shalih, aqidahnya sesuai dengan aqidah Rasulullah. Seandainya aqidahnya menyalahi aqidah Rasulullah, Rasulullah tidak akan memujinya. Seperti maklum diketahui dan dicatat oleh sejarah bahwa sultan Muhammad al Fatih adalah Asy'ari Maturidi, meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat. Dengan demikian hadits ini adalah busyra (berita gembira) bagi seluruh Ahlussunnah, al Asy'ariyyah dan al Maturidiyyah bahwa aqidah mereka sesuai dengan aqidah Rasulullah, maka berbahagialah orang yang senantiasa mengikuti jalan mereka.


Aqidah al Asy'ariyyah dan al Maturidiyyah adalah aqidah kaum muslimin dari kalangan Salaf dan Khalaf, aqidah para khalifah dan sultan, seperti sultan Shalahuddin al Ayyubi –semoga Allah meridlainya-. Sulthan Shalahuddin al Ayyubi adalah seorang 'alim, penganut aqidah Asy'ariyyah dan madzhab Syafi'i, hafal al Qur'an dan kitab at-Tanbih dalam fiqh Syafi'i serta sering menghadiri majlis-majlis ulama hadits. Al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Barmaki menyusun untuk sulthan Shalahuddin al Ayyubi sebuah risalah dalam bentuk nazham berisi aqidah Ahlussunnah dan ternyata sultan sangat tertarik dan akhirnya memerintahkan agar aqidah ini diajarkan kepada umat Islam, kecil dan besar, tua dan muda, sehingga akhirnya risalah tersebut dikenal dengan nama al Aqidah ash-Shalahiyyah. Risalah ini di antaranya memuat penegasan bahwa Allah maha suci dari benda (jism), sifat-sifat benda dan maha suci dari arah dan tempat. Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan Shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.


Al Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam Syarh Ihya 'Ulum ad-Din, Juz II, h. 6, mengatakan: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama'ah maka yang dimaksud adalah al Asy'ariyyah dan al Maturidiyyah". Kemudian beliau mengatakan: "Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala' al Hanabilah)". Apa yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki".


Al Hakim meriwayatkan dalam al Mustadrak dan al Hafizh Ibn 'Asakir dalam Tabyin Kadzib al Muftari bahwasanya ketika turun ayat: al-maidah 54, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam menunjuk kepada sahabat Abu Musa al Asy'ari dan bersabda: "Mereka adalah kaum orang ini". Al Qurthubi mengatakan dalam Tafsirnya, Juz VI, h. 220: "Al Qusyairi berkata: pengikut Abu al Hasan al Asy'ari adalah termasuk kaumnya". (telah maklum bahwa al Imam Abu al Hasan al Asy'ari, Imam Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah keturunan sahabat Abu Musa al Asy'ari).



Diringkas dari buku: Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Lembaga LITBANG

Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah

(SYAHAMAH)

Minggu, 02 Agustus 2009

Sekilas Wahabi


Wahabi, ya sebuah nama yang cukup ngetrend akhir-akhir ini. Tapi sayangnya di negeri kita masih sangat awam untuk mengenal apa itu Wahabi sesungguhnya, sehingga yang sangat menyedihkan adalah mayoritas kaum muda di Indonesia telah terjangkit virus Wahabi tanpa menyadarinya. Lain halnya dengan di negeri tetangga kita yaitu Malaysia. Dari pembicaraan kami dengan kawan-kawan kami di Qatar yang berasal dari Malaysia, nampak sekali bahwa mereka orang-orang Malaysia walaupun dari kalangan awam (kami pun termasuk) tapi mereka cukup dalam pemahaman agamanya. Sehingga mereka yang awam sekalipun faham akan bahaya Wahabi, tentang pentingnya bermazhab satu diantara empat mazhab ahlussunnah dan amalan-amalan fadhoil yang masih tetap lestari di negeri jiran Indonesia yaitu Malaysia. Bahkan cukup dalam juga pemahaman mereka (yang awam) akan mazhab Syafi’i yaitu salah satu mazhab fiqh dari empat mazhab ahlussunnah yang merupakan Mazhab terbesar umat Islam di dunia dan juga yang dianut oleh mayoritas umat Islam nusantara, Indonesia, Malaysia, & Brunei.

Negara Qatar mungkin termasuk negara yang juga terjangkit virus Wahabi, tapi Qatar merupakan negara yang sangat toleran terhadap perbedaan, hak asasi manusia dijunjung disini walaupun ada sedikit perbedaan antara pendatang dan tuan rumah, tapi semuanya masih dalam batas wajar. Bahkan bisa dibilang negara Qatar hanyalah mengejar materi. Tidak seperti Saudi Arabia yang dengan semangat sekali melarang ulama mazhab Maliki mengeluarkan fatwa dan membid’ahkan amalan-amalan kaum Sunni yang telah mengakar dari sejak masa salaf saleh (masa sampai abad 3H). Yang kemudian dengan penuh berapi-api menyebarkan fahamnya ke seluruh dunia.

Kembali ke topik yaitu Wahabi. Banyak pihak yang telah divonis sebagai Wahabi menolak dengan berbagai alasan akan kewahabiannya. Mereka pura-pura tidak tahu atau memang sebenarnya tidak tahu akan definisi dari wahabi terebut. Sehingga agar mereka itu sadar mereka itu wahabi “juga” maka akan sedikit kita kupas. Pertama, Wahabi adalah sebutan yang dinisbatkan kepada pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi yang lahir tahun 1701 M di Nejd, masuk wilayah Saudi Arabia. Sehingga SIAPAPUN yang menjadikan buku-buku karangan Syaikh tersebut, dan juga buku-buku karangan murid-murid dari Syaikh tersebut sebagai rujukan dalam beragama maka termasuk pengikut Wahabi. Dan perlu diketahui para Wahabi inipun telah berpecah-belah, masing-masing saling membid’ahkan bahkan saling mengkafirkan, na’udzubillah. Sehingga mereka ada yang mau maulidan, namun ada yang membid’ahkan maulidan, ada yang mau berpartai politik, ada yang membid’ahkan partai, ada yang setuju dengan penegakan Syariat Islam walaupun dengan cara membuat kegaduhan dan keonaran dalam negeri, ada juga yang tidak. Namun yang jadi titik temu adalah menjadikan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta murid-muridnya sebagai RUJUKAN. That’s clear.

Kedua, para Wahabi (yang telah didefinisikan diatas) jarang sekali menerima dirinya disebut sebagai Wahabi. Argumen yang sering mereka lontarkan berulang-ulang adalah bahwa penyebutan Wahabi sebagai pengikut Syaikh bin Abdul Wahhab adalah tidak tepat dalam bahasa arab karena nama Syaikh adalah Muhammad sedangkan Abdul Wahhab adalah ayah sang Syaikh. Jadi sepatutnya pengikutnya disebut dengan Muhammadi bukan Wahhabi, kata mereka. Sehingga mereka menemukan celah untuk menolak disebut sebagai Wahabi. Namun sebenarnya mereka telah menghancurkan dalih mereka dengan lisan-lisan mereka sendiri. Mereka masih menyebut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dengan sebutan Hanbali atau Hanabilah, pengikut Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dengan sebutan Syafi’iyyah atau Syafi’i, pengikut Imam Abul hasan Al-Asy’ari sebagai Asy’ariyah. Bukankah nama-nama tersebut bukan nama dari para imam tersebut? Melainkan nama dari kakek dari para imam tersebut. Mengapa mereka para Wahabi tidak menyebut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal sebagai Ahmadi? Mengapa tidak menyebut pengikut Imam Muhammad bin Idris sebagai Muhammadi?. Mereka hanya mencari-cari celah dari lemahnya pemahaman umat Islam, sehingga kita lihat pengikutnya di negeri kita adalah orang-orang yang masih sangat awam namun penuh semangat dalam mempelajari agama. Mereka nampak sangat ahli berbicara dalam masalah khilafiyah, bid’ah, syirik, kafir dan lainnya. Namun ketika ditanya hal-hal yang sedikit khilafiyah para ulama didalamnya seperti masalah zakat, hukum waris, hukum thalaq, dan lainnya, mereka hampir buta dan tak punya pemahaman sama sekali tentang hal-hal tersebut.

Dari dua alasan diatas kami rasa cukup membuat para Wahabi untuk mengakui bahwa dirinya adalah Wahabi, dan tak perlu tersinggung jika disebut Wahabi. Namun yang perlu diingat dari tulisan kami adalah kami tidak hendak seperti Wahabi yang gemar memaksa, hanya sekedar mengingatkan agar mereka tidak perlu kebakaran jenggot jika disebut Wahabi kemudian membuat klarifikasi ataupun pura-pura sepaham dengan sunni. Wallahu A’lam.

Rabu, 29 Juli 2009

Qatar Petroleum Vacancy


Expiry Date : August 09, 2009

Health, Safety and Environment Opportunities, Onshore and Offshore-QATAR

Qatar Petroleum
www.qp.com.qa

Qatar Petroleum is the National Oil Company of the State of Qatar. Working in Qatar offers a secure, family-oriented lifestyle where expatriate employees and their families are encouraged to fully participate in the community. All posts offer excellent locally tax-free salaries together with a comprehensive expatriate package including family status, accommodation and furniture allowances, life insurance and medical coverage, generous annual leave with paid airfares, and other allowances.

We seek to recruit the following qualified HSE professionals

SAFETY ENGINEER (LOSS PREVENTION)
B Sc or equivalent in engineering discipline. Diploma in Safety Management Member of recognized professional safety organization. Hand-on PC experience. 10 years experience in the field of Fire and safety systems design and construction. 3 years experience in the operations of Oil/Gas or Petrochemical Process Plants.

SAFETY OFFICER - OFFSHORE OPERATIONS
B.Sc. or equivalent in engineering discipline. Diploma in Safety Management, Recognized safety courses (e.g.: NEBOSH). Member of recognized professional safety organization. Hand-on PC experience. 12 years working experience in Oil & Gas or petrochemical industry including “hands – on” in Safety operations.

RADIATION PROTECTION OFFICER
B.Sc in Science (Physics, Chemistry, etc.) or relevant Engineering discipline. Postgraduate qualification in Physics or Nuclear Physics is preferred. Valid certification (NRPB) or equivalent qualification. Valid licensing as an RPO or equivalent qualification. Minimum 10 years as a Radiation Protection Officer. At least 5 years experiepce in the oil and gas (or comparable) industry as a Radiation Protection Officer.

FIRE INSTRUCTOR
ONC or equivalent. Successfully completed the International Access and Command Course (Fire Service College, UK). Diploma in Fire-fighting (Team Leader). 10 years experience in safety and fire in the oil, gas and petrochemical industry including a minimum of one year in Safety Operation.

SENIOR SAFETY TECHNICIAN (MAINTENANCE)
Higher Secondary School Education (12 years). 2 years training in technical discipline. Completed Breathing Apparatus Maintenance course. 12 years experience in safety and fire equipment maintenance with minimum 5 years in Oil & Gas environment.

SENIOR SAFETY TECHNICIAN (TRAINING)
Higher Secondary School Education (12 years) Successfully completed a recognized accredited international Access and Command Course Diploma in Firefighting (Team Leader) or other safety related relevant certificate. Passed Fire Investigation/NEBOSH or other relevant Safety related courses, 8 years experience as a firefighter or safety inspector/trainer, instructor with 3-5 years in an Oil and Gas environments inclusive of 3 years as fire and rescue technique instructor.

GENERAL TECHNICIAN (INDUSTRIAL HYGIENE)
Science or Engineering diploma from a recognized educational institution, with formal training in Occupational Hygiene. Registered Occupational Hygienist and/or Certified Industrial Hygienist. Strong working knowledge of equipment and sampling/survey techniques. Strong communication, administrative, time management and organizational skills with 10 years of related experience of which 3-4 years are in the oil and gas industry.

ENVIRONMENT TECHNICIAN (COMPLIANCE MONITORING)
Diploma in Environmental Science or Chemistry, or related field. Knowledge of hazards and safety precautions related to using chemicals and to performing tests on potential hazardous substances. At least 3 years of field sampling and monitoring experience, preferably in oil & gas industry.

GENERAL TECHNICIAN (RADIATION)
Higher Secondary School Education (12 years). Completed 2 years training in a technical discipline, ideally related to radiation protection. Attended safety management course. 6 years experience in safety and fire, related environment with a minimum of 3 years in Oil & gas or comparable environment as a radiation Protection Technician.

LEADING FIREMEN / FIREMEN
Completed Secondary School Education. 3years experience as Fireman. Fire vehicle license preferred.

Please submit a comprehensive C.V. in MS Word Format attachment quoting Job Title to:

PT. GUNAMANDIRI PARIPURNA
Head office: Jl. Kapten Tendean No. 24, Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan 12720, Indonesia Tel: 062- 21-7191060 (Hunting)
Fax: 062-21-7191017 E-mail: qp.hse@gunamandiri.com
LICENCE NUMBER: SIPPTKI NO.KEP.607/MEN/2006 - DATED 30 NOVEMBER 2006

(Only selected candidates will be interviewed).

Rabu, 22 Juli 2009

Jari Telunjuk Ketika Tasyahhud


Waktu Mengangkat Jari Telunjuk

Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.

Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shohih.

Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Maha mulia dan Mahal uhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.

Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.

Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah….”.

Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.

Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.

Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.

Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.


Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya

Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf (perbedaan) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.

Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberadaannya didalam sholat”.

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.

Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.

Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulukan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.


Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk

Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i) Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).

Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’ ”.

Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jarisungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.

Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.

Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”. Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!

Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.


Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.

Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.

Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.

Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”. Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimana pendapat sebagian orang. Wallahu a'lam


Sumber : Kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Syaikh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf

Sabtu, 11 Juli 2009

Mayoritas Warga NU dan Muhammadiyah Pilih SBY-Boediono


Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani, mengatakan, pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mendapat dukungan dari semua suku bangsa di Indonesia dan mementahkan segala alasan penggunaan politik primordial lainnya seperti perbedaan latar belakang gender, daerah, agama, dan ormas keagamaan.

Berdasarkan hasil survei Exit Poll LSI 8 Juli usai pencontrengan, pasangan SBY mendapat dukungan pemilih yang berasal dari suku Minang 86 persen, Bugis 28 persen, Sunda 65 persen, Jawa 64 persen dan Melayu 62 persen.

Sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri (Mega)-Prabowo mendapat dukungan pemilih dari suku Jawa 32 persen, Melayu 28 persen, Sunda 27 persen, Minang sekitar 6 persen dan Bugis sekitar 2 persen.

Pasangan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto mendapatkan dukungan pemilih dari suku Bugis 70 persen, Melayu 14 persen, Minang 9 persen, Sunda 8 persen dan Jawa 7 persen.

Pada wilayah Jawa dan luar Jawa, 61 persen pemilih Jawa menjatuhkan pilihan kepada SBY-Boediono disusul Megawati-Prabowo (31 persen) dan Jk-Wiranto (9 persen). Hal yang sama ditunjukkan pemilih luar Jawa dengan sebaran kepada SBY-Boediono 61 persen, Megawati-Prabowo 22 persen, dan JK-Wiranto 17 persen.

Sedangkan pilihan capres/cawapres menurut wilayah agama, pasangan SBY mendapat dukungan dari Islam sekitar 62 persen, Kristen 52 persen, Katolik 48 persen, Hindu 46 persen. Pasangan capres Mega lebih besar mendapat dukungan dari agama Hindu sekitar 53 persen, Katolik 46 persen, Kristen 42 persen dan Islam sekitar 24 persen.

Selanjutnya, kata Saiful, pasangan capres JK mendapat dukungan dari agama Islam 13 persen, Kristen 6 persen, Katolik dan Hindu masing-masing 1 persen. "Termasuk kaum santri dan abangan, sama-sama 63 persen ke SBY-Boediono," papar Saeful.

Pada wilayah gender, sebanyak 55 persen pemilih laki-laki memilih SBY-Boediono, 31 persen memilih Mega-Prabowo, dan 13 persen memilih JK-Wiranto. Sedangkan pemilih wanita yang memilih SBY-Boediono berjumlah 66 persen dan sisanya kepada Megawati-Prabowo (22 persen) serta JK-Wiranto (12 persen).

Grafik pilihan capres/cawapres menurut afiliasi ormas Islam terbesar di Indonesia juga menunjukkan tren yang sama. Sebanyak 64 persen pemilih NU memilih SBY-Boediono, 26 persen memilih Megawati-Prabowo, dan 10 persen memilih JK-Wiranto.

Di sisi Muhammadiyah, 58 persen anggota organisasi warisan Ahmad Dahlan tersebut memilih SBY-Boediono. Sisanya ke Megawati-Prabowo (24 persen) dan JK-Wiranto (18 persen).

Menurut Saeful, exit poll menunjukkan jika tokoh-tokoh ormas Islam tidak punya pengaruh politik yang berarti kepada para anggotanya. "Dalam urusan pilpres, pertimbangan rasional pemilih yang paling menentukan pilihan. Keberhasilan pemerintahan SBY selama lima tahun melumpuhkan latar belakang politik primordial yang selama ini terjadi di Indonesia," tandas Saeful.

Burhanudin Muhtadi, peniliti dari LSI menambahkan, perkiraan tersebut dihasilkan dari Exit Poll dengan menggunakan sampel 1.948 yang berhasil diwawancarai dengan margin of error satu variabel pokok kurang lebih 2,8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Exit Poll, merupakan sistem untuk mengetahui kepemilihan pasangan capres/cawapres dengan cara mewawancarai sebagian dari pemilih yang baru selesai menggunakan hak pilihnya di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Dengan demikian, exit poll tidak hanya menampilkan angka statistik tetapi juga berusaha menampilkan profil dari pemilih mulai dari alasan kenapa memilih pasangan capres, tingkat pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

"Jadi, hasil yang didapat dari sistem exit poll lebih cepat dan bervariasi dibanding quick count, selain itu diperoleh gambaran detail tentang alasan seseorang memilih salah satu calon satu dengan calon lainnya," kata dia.

Sedang hitung cepat cenderung menampilkan data statistik saja, berupa angka-angka yang didapat dari TPS yang tersebar di seluruh indonesia secara random. (ant/rep/mad)


Sumber : www.nu.or.id